Santapan Minda

Monday, 3 September 2012

Wanita bekerja dalam Islam

Wanita bekerja dalam Islam – Apakah hukum wanita bekerja menurut Islam? Dewasa ini kita dapat lihat semakin ramai wanita yang melakukan aktiviti di luar rumah untuk bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mendapat status sosial di masyarakat dan sebagainya. Bahkan kadang-kadang timbul masalah para wanita yang mengeluh ketika harus menghadapi pelbagai situasi yang sukar. Diantaranya cuti hamil yang terlalu singkat, masa kerja tidak menentu siang-malam, sehingga masalah gangguan seksual. Lalu bagaimana Islam memandang permasalahan seperti ini?
Wanita Bekerja, bolehkah?



Allah SWT telah menciptakan lelaki dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaannya). Ertinya lelaki dan wanita diciptakan memiliki ciri-ciri khas kemanusiaan yang tidak banyak berbeza antara satu dengan yang lain. Keduanya dikurniai potensi hidup yang sama berupa keperluan jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap lelaki dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban solat, puasa, zakat, haji, menuntut ilmu, menyebarkan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan sebagainya. Semua ini dibebankan kepada lelaki dan wanita tanpa ada perbezaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata kerana sifat kemanusiaan yag ada pada keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu lelaki maupun wanita.
Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (lelaki saja atau wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeza antara lelaki dan wanita. Contohnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada lelaki, kerana hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai ketua keluarga. Islam sendiri telah menetapkan bahawa ketua keluarga adalah tugas pokok dan tanggung jawab lelaki. Dengan demikian wanita tidak terbebani tugas (kewajipan) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri mahupun untuk keluarganya. Wanita justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (bila wanita tersebut telah menikah) atau dari walinya (bila belum menikah). Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah wanita tersebut kepada Daulah (Baitul Maal). Bukan dengan jalan mewajibkan wanita bekerja.
Kalau begitu, bolehkah berhenti bekerja? atau masih perlukah ia mencari nafkah dengan bekerja?
Sekalipun wanita telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan bererti Islam tidak membolehkan wanita bekerja untuk mendapatkan harta/ wang. Islam membolehkan wanita untuk memiliki harta sendiri. Bahkan wanita pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman yang bermaksud: “Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Islam tidak pernah mensyariatkan untuk mengurung wanita di dalam rumah. Tidak seperti yang banyak dipahami orang. Lihatlah sendiri bagaimana baginda Rasulullah SAW melarang orang yang melarang wanita yang mahu datang ke masjid.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk pergi ke Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dan lafadz ini dari Abu Dawud).
Dari Abdullah Bin Umar dia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang perempuan di antara kamu minta izin (untuk berjama’ah di masjid) maka janganlah mencegahnya”. (HR Al-Bukhari dan Muslim, lafadz ini dari Al-Bukhari).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah kaum wanita untuk pergi ke masjid, tetapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.” (HR Abu Dawud).
Isteri Rasulullah SAW Khadidjah ra. adalah seorang wanita pebisnis. Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah ra itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di sini kita bisa paham bahwa seorang isteri nabi sekalipun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya. Demikian pula dengan ‘Aisyah ra. Semasa Rasulullah masih hidup, beliau sering kali ikut keluar Madinah dalam berbagai operasi peperangan. Dan sepeninggal Rasulullah SAW, Aisyah adalah guru dari para shahabat yang memapu memberikan penjelasan dan keterangan tentang ajaran Islam.
Di dalam surat al-Qashash,ayat-23-28, juga dikisahkan mengenai dua puteri Nabi Syu’aib as yang bekerja menggembala kambing di padang rumput, yang kemudian bertemu dengan Nabi Musa as. Surat al-Naml ayat 20-44, juga mengapresiasi kepemimpinan (karir politik) seorang perempuan yang bernama Balqis. Disamping ayat-ayat lain yang mengisyaratkan bahwa perempuan itu boleh bekerja menyusukan anak dan memintal benang.
Meskipun tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja, namun hendaknya jenis pekerjaan itu tidak diharamkan dan tidak mengarah pada perbuatan haram, seperti perjalanan sehari semalam tanpa ada mahram atau bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita. Memang tidak ada dalil yang qath’i tentang haramnya wanita keluar rumah, namun para ulama tetap menempatkan beberapa syarat atas kebolehan wanita keluar rumah.
  1. Mengenakan Pakaian yang Menutup Aurat
    Menutup aurat adalah syarat mutlak yang wajib dipenuhi sebelum seorang wanita keluar rumah. Firman Allah SWT :Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-oarang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”(QS Al-Ahzaab 27)
  2. Tidak berkhalwat antara pria dan wanita.
    Sabda Rasulullah SAW mafhumnya: “tidak boleh berkhalwat (bersepi-sepian) antara laki-laki dengan wanita kecuali bersama wanita tadi ada mahram”
  3. Tidak Tabarruj atau Memamerkan Perhiasan dan Kecantikan
    Wanita dilarang memamerkan perhiasan dan kecantikannya, terutama di hadapan para laki-laki, seperti firman Allah SWT :Janganlah memamerkan perhiasan seperti orang jahiliyah yang pertama` (QS Al-Ahzaab 33)
  4. Tidak Melunakkan, Memerdukan atau Mendesahkan Suara
    Para wanita diharamkan bertingkah laku yang akan menimbulkan syahwat para laki-laki. Seperti mengeluarkan suara yang terkesan menggoda, atau memerdukannya atau bahkan mendesah-desahkan suaranya.
    Larangaannya tegas dan jelas di dalam Al-Quran: “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melunakkan dan memerdukan suara atau sikap yang sejenis) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS Al-Ahzaab 32).
  5. Menjaga Pandangan
    Wanita yang keluar rumah juga diwajibkan untuk menjaga pandangannya, Allah SWT dalam firman-Nya:Katakanlah pada orang-orang laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya ……..”(QS An Nuur 30-31)
  6. Aman dari Fitnah
    Kebolehan wanita keluar rumah akan batal dengan sendirinya manakala ada fitnah, atau keadaan yang tidak aman. Hal ini sudah merupakan ijma` para ulama.
    Syarat ini didapat dari hadits Nabi SAW tentang kabar beliau bahwa suatu ketika akan ada wanita yan berjalan dari Hirah ke Baitullah sendirian tidak takut apa pun kecuali takut kepada Allah SWT.
  7. Pekerjaannya itu tidak mengorbankan kewajibannya dirumah
    Yaitu kewajibannya terhadap suami dan anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugasnya yang asasi.
  8. Mendapatkan Izin Dari Orang Tua atau Suaminya
    Ini adalah yang paling sering luput dari perhatian para muslimah. Terkadang seolah-olah izin dari pihak orang tua maupun suami menjadi hal yang terlupakan. Izin dari suami harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang dan perhatian serta wujud dari tanggung-jawab seorang yang idealnya menjadi pelindung. Namun tidak harus juga diterapkan secara kaku yang mengesankan bahwa Islam mengekang kebebasan wanita.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun para ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka meryuruh (mengerjakan) yang ma’ruf mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zatat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya…” (At-Taubah: 71)


No comments:

Post a Comment